Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Indonesia masih akan terus mengancam sejalan dengan kondisi perekonomian global yang masih belum menentu. Sebanyak 70.000 pekerja telah di PHK sampai dengan April 2025. Sektor yang paling terkena dampak antara lain tekstil dan garmen, manufaktur, admin dan SDM. Terakhir diberitakan sektor keuangan juga terancam diantaranya PT. Asuransi Jiwa Jiwasraya dan AJB Bumiputera 1912, Perusahaan besar asuransi yang besar di jamannya kini tengah meratapi nasibnya yang dampaknya dirasakan oleh karyawan-karyawannya akibat terdampak PHK. Selain karena mengalami permasalahan keuangan berkepanjangan akibat tidak sehat, industri asuransi merupakan sektor keuangan yang mempunyai tingkat risiko tinggi jika pengelolaan Perusahaan tidak sesuai dengan tata kelola GCG. PHK bukan lagi menjadi isu, namun kejadian yang signifikan dan dirasakan saat ini, dengan dampak yang luas terhadap ekonomi dan masyarakat. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat ribuan pekerja di berbagai sektor mengalami PHK, terutama pada tahun 2024 dan 2025.
Penyebab Badai PHK diantaranya sebagai akibat dari :
- Kondisi Ekonomi Makro, dimana perlambatan ekonomi dunia, penurunan daya beli masyarakat, dan kebijakan pemerintah.
- Daya Saing Perusahaan, kebanyakan Perusahaan yang tidak efisien atau tidak mampu bersaing di pasar.
- Tata Kelola Perusahaan, diantara beberapa perusahaan mengalami masalah dalam pengelolaan atau manajemen ; dan terakhir
Pandemi Covid-19, dimana dampak ekonomi dari pandemi masih terasa hingga sekarang.
Anggota Fraksi Gerindra dari Komisi IX DPR RI, Obon Tabroni, turut menyoroti permasalahan PHK akibat rasionalisasi SDM yang terjadi di AJB Bumiputeera 1912 sebagaimana diterima informasinya telah terjadi PHK Sepihak terhadap karyawan yang merupakan Anggota Serikat Pekerja NIBA AJB Bumiputera 1912 pada tanggal 1 Maret 2025. Dalam pernyataannya disampaikan bahwa PHK meskipun hak Perusahaan namun harus tetap memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, antara lain mencakup situasi dan kondisi Perusahaan. Sebagai Pemberi Kerja, Perusahaan harus transaparan dalam menyajikan informasi keadaan yang sesuangguhnya secara komprehensif. Hal dimaksud guna memastikan urgensi Perusahaan dalam membuat suatu Keputusan PHK terhadap karyawannya. Penting menjadi catatan baik Pengusaha maupun karyawan wajib mengupayakan dengan maksimal pencegahan PHK, dengan senantiasa memperhatikan aspek-aspek keuangan dan keberlanjutan usaha melalui pengelolaan Perusahaan secara efektif dan efisien. Perusahaan wajib melakukan tahapan-tahapan yang benar dalam melakukan efisiensi dalam rangka mempertahankan eksistensi, sehingga pelaksanaan efisiensi tidak merugikan pemangku kepentingan yang ada.
Berdasarkan informasi yang diterima dari beberapa karyawan AJB Bumiputera 1912 yang terdampak PHK Sepihak dimaksud, Obon Tabroni mengungkapkan bahwa Keputusan PHK yang dijatuhkan pada tanggal 1 Maret 2025 menyalahi aturan perundang-undangan yang berlaku. Selain akibat tidak memenuhi waktu yang ditentukan dalam aturan Pasal 151 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan JunctoPasal 37 ayat (3) PP No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja, Hubungan Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja. Diketahui sebanyak 624 karyawan telah menyampaikan penolakannya secara tertulis ke Irvandi Gustari selaku Direktur Utama AJB Bumiputera 1912 dan dalam surat-surat yang disampaikan melalui SP NIBA AJB Bumiputera 1912 ditegaskan tengah berselisih ( perselisihan PHK ), namun sejak bulan Maret sd awal bulan Mei 2025 Direksi AJB Bumiputera 1912 tidak aktif melakukan Perundingan Bipartit. Kelihatan sekali bahwa hubungan antara Direksi dengan karyawan AJB Bumiputera 1912 tidak harmonis sehingga komunikasi buntu. Terakhir antara Direksi dengan Pengurus SP NIBA AJB Bumiputera 1912 telah menggelar Perundingan Bipartit pada tanggal 16 Mei 2025 namun tidak mencapai kesepakatan dan dilanjutkan pencatatan penyelesaian perselisihannya pada Kementerian Ketenagakerjaan melalui Tripartit. Mirisnya diketahui selama proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial, AJB Bumiputera 1912 tidak membayarkan Upahnya kepada Karyawan sejak bulan Maret 2025 hingga saat ini.
Obon Tabroni menegaskan dalam kondisi tersebut AJB Bumiputera 1912 wajib memperhatikan ketentuan Pasal 157A UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Komisi IX DPR RI sebagai Komisi yang membidangi masalah kesehatan, ketenagakerjaan, dan kependudukan, disamping juga bertugas mengawasi program kesehatan pemerintah, termasuk penyaluran makan siang gratis menyampaikan bahwa permasalahan yang menimpa karyawan AJB Bumiputera 1912 tersebut harus menjadi perhatian serius Kementerian Ketenagakerjaan dan diselesaikan dengan tuntas dengan memperhatikan aspek kemanusiaan, praktek-praktek demikian tidak boleh dibiarkan dan terjadi di Perusahaan-perusahaan lainnya. Pengusaha wajib mematuhi dan cermat dalam mencerna aturan ketenagakerjaan, terlebih karyawan yang telah lama mengabdi terhadap Perusahaan.

Pada kesempatan terpisah, F. Ghulam Naja, Ketua Umum SP NIBA AJB Bumiputera 1912, menyampaikan dalam keterangan tertulisnya bahwa Organ Perusahaan AJB Bumiputera 1912 yang terdiri dari Peserta RUA, Dewan Komisaris, dan Direksi, sudah sepatutnya mengimplementasikan Rencana Penyehatan Keuangan dengan baik. Proses PHK melalui Rasionalisasi SDM yang diputuskan oleh Direksi AJB Bumiputera 1912 pada 1 Maret 2025 terhadap 624 Anggotanya telah menyalahi aturan, sehingga tidak patut dilaporkan ke Otoritas Jasa Keuangan ( OJK ). Sebagai lembaga pengawasan industri perasuransian yang menaungi AJB Bumiputera 1912, OJK diminta untuk lebih jeli memperhatikan gejala-gejala yang dilakukan oleh Organ Perusahaan AJB Bumiputera 1912. Penggunaan kekayaan AJB Bumiputera 1912 khususnya harus menjadi perhatian serius dan jangan sampai mengakibatkan kondisi AJB Bumiputera 1912 semakin tidak sehat akibat kerugian semakin besar.
Penerapan tata kelola Perusahaan yang baik oleh Organ Perusahaan AJB Bumiputera 1912 menjadi konsentrasi sejalan implementasi UU Nomor 4 Tahun 2023 juncto POJK Nomor 7 Tahun 2023 yang menurutnya belum secara konsisten dijalankan sebagai akibat pengaruh kondisi AJB Bumiputera 1912 yang tidak sehat. Oleh karenanya dalam implementasi RPK yang telah memperoleh Pernyataan Tidak Keberatan dari OJK, wajib memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Diantaranya pelaksanaan PHK melalui Rasionalisasi SDM harus sudah disiapkan segala sesuatunya baik dari anggaran maupun hal-hal lainnya seperti kewajiban Perusahaan menyelesaikan hak-hak normatif yang belum dibayarkan sejak tahun 2018 hingga saat ini. Terlebih dalam hal implementasi RPK yang mengabaikan ketentuan perundang-undangan yang berlaku seperti Keputusan PHK sepihak per 1 Maret 2025 terhadap 624 Anggota SP NIBA AJB Bumiputera 1912, maka OJK menjadi pihak yang paling bertanggung jawab karena dianggap abai karena tidak mampu memberikan pengawasan terhadap Organ Perusahaan AJB Bumiputera 1912. Kondisi demikian pada akhirnya mengakibatkan kondisi AJB Bumiputera 1912 semakin mengalami kerugian akibat ketidakmampuan menjalankan program-program penyehatan secara efektif dan efisien, sehingga juga akan berdampak pada pelayanan bagi Pemegang Polis AJB Bumiputera 1912 dan kewajiban lainnya.
Obon TabroniAnggota Fraksi Gerindra Komisi IX DPR RI